Terima Kasih Atas Kunjungannya

Jumat, 03 Agustus 2012

Ucapan Alhamdulillah Mestinya Tidak Pernah Terputus

adhyel ucapan alhamdulillah mestinya tidak pernah terputus
BERSYUKUR, bukan hanya sebagai kata. Ucapan Alhamdulillah mestinya tidak pernah terputus dari bibir tubuh dan batin kita. Pasalnya, nikmat Ilahi seakan tak pernah terhenti buat kita sebagai hamba-Nya. Hanya saja, terkadang kita lupa untuk mengatakannya-minimal di hati.
Kata syukur itu memang mestinya dijabarkan dalam sikap yang lebih arif. Sebab, kerap ada yang berkata bahwa bila umur kita bertambah, maka di saat itulah kita makin bijak. Di saat itu pulalah, kita harus memahami kodrat kita sebagai manusia yang harus selalu berada dalam koridor kehendak-Nya. Namun, tidak sedikit dari kita yang lupa mengucapkan rasa syukur itu dari segala nikmat Ilahi. Apalagi, nikmat yang Tuhan berikan sangatlah luar biasa, minimal usia kita bertambah.
Nikmat itu pada dasarnya juga merupakan ujian. Kesenangan yang diberikan Ilahi kepada kita, tidaklah sekonyong-konyong menjadi kebanggaan maupun power untuk menyakiti orang lain. Kesenangan yang beragam itu bukanlah semata hadiah, tapi seharusnya menjadi bahan perenungan dan intropeksi dari segala langkah yang kita telah lewati maupun yaang sedang kita rencanakan  dan hadapi dihari-hari esok.
Bila ada yang mengatakan bahwa nikmat itu, termasuk jabatan adalah semata membuat kita bahagia, maka tentulah cara pandang seperti itu tidak sepenuhnya benar. Lagipula, sering kita mendengar pernyataan dari orang-orang yang masuk kategori bijak bahwa jabatan yang ia emban adalah amanah. Malah, ada yang menilainya sebagai beban.
Lantas adakah jabatan itu beban yang sangat berat untuk kita panggul? Sesungguhnya menurut keyakinan orang yang beriman dan beragama yang baik, jelas memahami bahwa Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Setidaknya, nikmat yang diberikan Ilahi itu bisa jadi justru sebagai beban, tapi terukur oleh kemampuan kita sendiri. Tapi jika kita malah tidak pernah menyadari akan segala kemampuan dari segala beban yang menjadi tanggung jawab kita itu, pada dasarnya di masa-masa itulah kita bisa kehilangan kendali pikir dan sikap sehingga justru menyakiti orang lain.
Seseorang yang terbebani (nikmat sekalipun) itu mendapatkan kebaikan karena pahalanya yang selama ini ia lakukan dan ia pun akan mendapatkan hukuman dan siksa bila ia berbuat jahat dan mengerjakan hal-hal yang merugikan orang lain. Sebagian keyakinan orang mengatakan bahwa ada hukum karma dari setiap perbuatan jahat atau jahil yang kita lakukan. Artinya yang baik akan ada balasan pertolongan, juga akan kemudahan urusan dalam kesulitan bila ada kebaikan yang pernah kita lakukan. Dan begitu pula sebaliknya, bila kita pernah menyakiti dan menzalimi orang lain, maka kita tunggu pula azab kesulitan dan masalah yang akan menimpa kita.
Akan tetapi, apakah sampai di situ saja paham kita tentang nikmat yang merupakan ujian itu? Tentu saja tidak cukup bahwa hidup ini hanya dalam pendekatan causal point of refrence atau sebab akibat, karena nyatanya sebagai manusia tentu saja seseorang itu penuh ketidaksempurnaan, bahkan tempatnya salah dan dosa. Jika demikian, maka keyakinan kita harus diarahkan bahwa Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa juga tempatnya kita memohon pengampunan dan tempat menerima taubat kita. Sehingga, penjabaran nikmat itu menjadi rasa syukur yang kemudian diejawantahkan kebentuk sikap agamis yang tidak lagi melulu menyakiti atau menyinggung orang lain yang mestinya menjadi bagian dari kehidupan kita sendiri untuk saling menghrgai.
Dari konteks itu pula, kita yakin bahwa sedangkan Allah SWT Maha Pengampun dan Pemaaf, apalagi kita sesama manusia mestinya harus ada saling mengampuni dosa kita. Karena pasti ada pula dosa kita dan bisa saja dosa yang ada itu adalah yang kita lakukan justru hal-hal yang di luar kesadaran kita atau karena adanya pengaruh sesaat yang tanpa sadar kita terkondisi berbuat salah. Yang jelas harus diingat bahwa semua orang pernah berdosa dan mungkin yang kita alami saat ini juga karena karma di masa lalu yang sementara berkutat dalam kehidupan kita, masih saling terkait. Tapi jika kesadaran itu hadir, maka jelas karunia Ilahi masih ada pada kita sebagai bahagian intropeksi dan evaluasi perjalanan hidup yang kita alami, karena kesadaran itu memberikan makna bahwa kita masih bernapas, masih ada otak yang berpikir, masih ada hati dan nurani yang Allah SWT karuniai pada kita untuk memperbiki langkah kita yang lebih baik ke depan dengan harapan umur kita masih panjang dan kesempurnaan dari tahun ke tahun makin dapat kita lakukan. Yang akhirnya berwujud sempurna dalam iman, sempurna dalam hidup. Artinya, kerja yang makin baik, sukses dan berprestasi, secra material dapat menghidupkan keluarga dan orang di sekitar kita dengan pendapatan yang halal dan dapat berubah dan mengontribusi kemajuan umat, agama, dan negara, kian terwujud. Namun, semua itu tentulah tak terlepas dari segala nikmat Ilahi yang diberkan kepada kita.
Makanya, sangat disesalkan bila ada orang yang lupa berendam dalam karunia Ilahi yang bibir dan hatinya tidak tahu mengucapkan Alhamdulillah, dan hanya mengucap kata lain yang tak henti menyakiti orang lain. Nauzubillah! Semoga, kita selalu diberi nikmat untuk tetap bersyukur.
Di kutip dari Syahrul Yasin Limpo. 2007. Ambil Tanganku, Kuambil Tanganmu. Yogyakarta; Citra Pustaka.

Followers

Powered By Blogger

Statistik Pengunjung