Ibu adalah perempuan, itu pasti!
Tapi perempuan adalah ibu, bukan suatu kepastian. Hanya saja kerap kita mesti
mendudukkan perempuan pada posisi ibu. Lantas, adakah perempuan memang pantas
disebut ibu?
Bagi saya, ibu itu mengesankan kasih
sayang, terbayang kelembutan, merasakan aliran cinta. Bila saya berpikir
tentang perempuan, terbayang kasih Ibu yang sejati melindungi anak-anaknya.
Fokus pikiran saya hanya tentang sosok ibu! Makna itulah yang pertama hadir di
benak saya. Oleh karena itu, makna kelembutan, kasih sayang, pendidikan, cinta,
akan senantiasa tidak lepas dari arti kehadiran perempuan, gender, maupun kaum
ibu.
Jika kita menyepelekan inti dari
makna kelembutan cinta ibu dari sosok perempuan sebagai ibu itu, sepertinya
kita menafikan keberadaan kita sebagai manusia. Karena, dari ibu itulah kita
tidak mengenal pembeda antara laki-laki dan perempuan. Ibu menyayangi tanp beda
takar. Ibu mengalirkan dirinya yang suci ke dalam aliran-aliran darah kita. Dan
kita merasakan kelembutan cinta itu sebagai bagian penting dari muasal
kehidupan.
Kalaulah kita jujur pada diri
sendiri, maka tak akan ada pertanyaan tentang sosok ibu yang tetap saja menjadi
api dalam diri kita untuk memberi arti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
maupun berinteraksi sesama manusia. Kita menempatkan porsi cinta dan
penghormatan pada ibu. Sebab, tentulah kita tidak bisa hidup tanpa kasih
sayang, tanpa pendidikan, tanpa kelmbutan dari cinta ibu.
Bila ternyata ada yang tidak
mampu menempatkan ibu sebagai sosok pemberi kelembutan kasih dari segalanya,
maka bisa dipastikan bahwa kehadiran ibu, kehadiran permpuan, hanya ada pada
tataran makna simbolik saja. Padahal, makna konsepsional dan makna filosofis
yang kita butuhkan, bukan sekadar makna biologis yang feminin itu saja. Kita
membutuhkan sosol itu yang sejtinya menjadi pelindung, pemberi arah, pengajar,
penyayang, dan segala yang baik yang telah membumikan dirinya sebagai perempuan
yang mampu menempatkan diri pada makna filosofis.
Perempuan adalah ibu. Ia mampu menempatkan
posisinya secara proporsional. Ia mampu menjadi pelindung. Ia mampu menjadi
penyemangat, pengarah, pembimbing. Ibu bukanlah sosok yang memberi makna pada
sisi kehidupan yang tidak pernah kita ingin bayangkan. Kita tidak berharap,
sosok itu menacapkan taring ke daging anak-anaknya. Ibu mestinya tak pernah
bergeser sebagai pemberi kelembutan cinta.
Secara makna simbolik, kaum
perempuan atau sosok ibu itu tidaklah sekonyong-konyong menjadi sosok yang
lemah atau dengan kata yang agak vulgar yakni bahwa hanya kaum lelaki yang
keras, dan bahkan bisa menjajah. Sama sekali tidak! Karena karakter yang ada
pada kaum lelaki, ada pula pada wanita.
Misalnya, bukankah kita banyak
mendengar bagaimana Margareth Teatcher yang ketika menjadi PM Inggris yang
dikenal sebagai Iron Woman, atau
siapa yang tidak kenal keberanian Cut Nyak Dhien sebagai tokoh wanita yang
memimpin perlawanan di Aceh melawan Belanda?
Yang membedakan perempua dan
laki-laki adalah biologisnya saja! Dan pada dasarnya memiliki kemampuan yang
sama dalam semua dimensi kehidupan. Hal yang diperjuangkan Ibu Kartini. Namun,
bagi seniman seperti Ismail Marzuki dalam tembangnya “Sabda Alam”, melihat
persoalan gender itu di masanya masih dala koridor biologis sesuai proporsinya.
“wanita dijajah pria sejak dulu,
dijadikan perhiasan sangkar madu. Namun ada kala pria tak berdaya, tekuk lutut
di balik kerling wanita...”. Penggalan lagu tersebut menjelasakan bahwa baru
kerlingan perempuan, pria sudah menyerah apalagi kalau betul-betul segala
kemampuan biologis yang dia miliki dikerahkan, maka dia akan mampu berbuat
maksimal setara laki-laki.
Kini, sudah tidak pada tempatnya
di saat teknologi dan ilmu pengetahuan telah berkembang, peluang perempuan
tidak mendapatkan tempat di semua ruang yang ada. Hanya saja, jiwanya sebagai
ibu mestinya tetap saja mendominasi cara berpikir dan bertindaknya. Sebab,
sekeras baja bagaimana pun, ia tetap perempuan yang memiliki kelembutan cinta
seorang ibu.
Dan kita selau berharap,
perempuan adalah ibu yang memberi kehangatan cinta itu sebagai keikhlasan,
bukan sekadar perlombaan demi emansipasi. Dari tangannyalah, dari hatinyalah,
dari pikirannyalah, akan mengalir energi anak bangsa yang mengenal dirinya,
mengenal tanggung jawabnya kepada keluarga, bangsa, dan agamanya.