BERSYUKUR, bukan hanya sebagai
kata. Ucapan Alhamdulillah mestinya
tidak pernah terputus dari bibir tubuh dan batin kita. Pasalnya, nikmat Ilahi
seakan tak pernah terhenti buat kita sebagai hamba-Nya. Hanya saja, terkadang
kita lupa untuk mengatakannya-minimal di hati.
Kata syukur itu memang mestinya
dijabarkan dalam sikap yang lebih arif. Sebab, kerap ada yang berkata bahwa
bila umur kita bertambah, maka di saat itulah kita makin bijak. Di saat itu
pulalah, kita harus memahami kodrat kita sebagai manusia yang harus selalu
berada dalam koridor kehendak-Nya. Namun, tidak sedikit dari kita yang lupa
mengucapkan rasa syukur itu dari segala nikmat Ilahi. Apalagi, nikmat yang
Tuhan berikan sangatlah luar biasa, minimal usia kita bertambah.
Nikmat itu pada dasarnya juga
merupakan ujian. Kesenangan yang diberikan Ilahi kepada kita, tidaklah
sekonyong-konyong menjadi kebanggaan maupun power
untuk menyakiti orang lain. Kesenangan yang beragam itu bukanlah semata hadiah,
tapi seharusnya menjadi bahan perenungan dan intropeksi dari segala langkah
yang kita telah lewati maupun yaang sedang kita rencanakan dan hadapi dihari-hari esok.
Bila ada yang mengatakan bahwa
nikmat itu, termasuk jabatan adalah semata membuat kita bahagia, maka tentulah
cara pandang seperti itu tidak sepenuhnya benar. Lagipula, sering kita
mendengar pernyataan dari orang-orang yang masuk kategori bijak bahwa jabatan
yang ia emban adalah amanah. Malah, ada yang menilainya sebagai beban.
Lantas adakah jabatan itu beban
yang sangat berat untuk kita panggul? Sesungguhnya menurut keyakinan orang yang
beriman dan beragama yang baik, jelas memahami bahwa Allah SWT tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Setidaknya, nikmat yang
diberikan Ilahi itu bisa jadi justru sebagai beban, tapi terukur oleh kemampuan
kita sendiri. Tapi jika kita malah tidak pernah menyadari akan segala kemampuan
dari segala beban yang menjadi tanggung jawab kita itu, pada dasarnya di
masa-masa itulah kita bisa kehilangan kendali pikir dan sikap sehingga justru
menyakiti orang lain.
Seseorang yang terbebani (nikmat
sekalipun) itu mendapatkan kebaikan karena pahalanya yang selama ini ia lakukan
dan ia pun akan mendapatkan hukuman dan siksa bila ia berbuat jahat dan
mengerjakan hal-hal yang merugikan orang lain. Sebagian keyakinan orang
mengatakan bahwa ada hukum karma dari setiap perbuatan jahat atau jahil yang
kita lakukan. Artinya yang baik akan ada balasan pertolongan, juga akan
kemudahan urusan dalam kesulitan bila ada kebaikan yang pernah kita lakukan.
Dan begitu pula sebaliknya, bila kita pernah menyakiti dan menzalimi orang
lain, maka kita tunggu pula azab kesulitan dan masalah yang akan menimpa kita.
Akan tetapi, apakah sampai di
situ saja paham kita tentang nikmat yang merupakan ujian itu? Tentu saja tidak
cukup bahwa hidup ini hanya dalam pendekatan causal point of refrence atau sebab akibat, karena nyatanya sebagai
manusia tentu saja seseorang itu penuh ketidaksempurnaan, bahkan tempatnya
salah dan dosa. Jika demikian, maka keyakinan kita harus diarahkan bahwa Allah
SWT, Tuhan Yang Mahaesa juga tempatnya kita memohon pengampunan dan tempat
menerima taubat kita. Sehingga, penjabaran nikmat itu menjadi rasa syukur yang
kemudian diejawantahkan kebentuk sikap agamis yang tidak lagi melulu menyakiti
atau menyinggung orang lain yang mestinya menjadi bagian dari kehidupan kita
sendiri untuk saling menghrgai.
Dari konteks itu pula, kita yakin
bahwa sedangkan Allah SWT Maha Pengampun dan Pemaaf, apalagi kita sesama
manusia mestinya harus ada saling mengampuni dosa kita. Karena pasti ada pula
dosa kita dan bisa saja dosa yang ada itu adalah yang kita lakukan justru
hal-hal yang di luar kesadaran kita atau karena adanya pengaruh sesaat yang
tanpa sadar kita terkondisi berbuat salah. Yang jelas harus diingat bahwa
semua orang pernah berdosa dan mungkin yang kita alami saat ini juga karena
karma di masa lalu yang sementara berkutat dalam kehidupan kita, masih saling
terkait. Tapi jika kesadaran itu hadir, maka jelas karunia Ilahi masih ada pada
kita sebagai bahagian intropeksi dan evaluasi perjalanan hidup yang kita alami,
karena kesadaran itu memberikan makna bahwa kita masih bernapas, masih ada otak
yang berpikir, masih ada hati dan nurani yang Allah SWT karuniai pada kita
untuk memperbiki langkah kita yang lebih baik ke depan dengan harapan umur kita
masih panjang dan kesempurnaan dari tahun ke tahun makin dapat kita lakukan.
Yang akhirnya berwujud sempurna dalam iman, sempurna dalam hidup. Artinya,
kerja yang makin baik, sukses dan berprestasi, secra material dapat
menghidupkan keluarga dan orang di sekitar kita dengan pendapatan yang halal
dan dapat berubah dan mengontribusi kemajuan umat, agama, dan negara, kian
terwujud. Namun, semua itu tentulah tak terlepas dari segala nikmat Ilahi yang
diberkan kepada kita.
Makanya, sangat disesalkan bila
ada orang yang lupa berendam dalam karunia Ilahi yang bibir dan hatinya tidak
tahu mengucapkan Alhamdulillah, dan
hanya mengucap kata lain yang tak henti menyakiti orang lain. Nauzubillah! Semoga, kita selalu diberi
nikmat untuk tetap bersyukur.
Di kutip dari Syahrul Yasin
Limpo. 2007. Ambil Tanganku, Kuambil
Tanganmu. Yogyakarta; Citra Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar