Terima Kasih Atas Kunjungannya

Jumat, 28 September 2012

Pentingnya Kelembutan Cinta Seorang Ibu

adhyel pentingnya kelembutan cinta seorang Ibu
Ibu adalah perempuan, itu pasti! Tapi perempuan adalah ibu, bukan suatu kepastian. Hanya saja kerap kita mesti mendudukkan perempuan pada posisi ibu. Lantas, adakah perempuan memang pantas disebut ibu?
Bagi saya, ibu itu mengesankan kasih sayang, terbayang kelembutan, merasakan aliran cinta. Bila saya berpikir tentang perempuan, terbayang kasih Ibu yang sejati melindungi anak-anaknya. Fokus pikiran saya hanya tentang sosok ibu! Makna itulah yang pertama hadir di benak saya. Oleh karena itu, makna kelembutan, kasih sayang, pendidikan, cinta, akan senantiasa tidak lepas dari arti kehadiran perempuan, gender, maupun kaum ibu.
Jika kita menyepelekan inti dari makna kelembutan cinta ibu dari sosok perempuan sebagai ibu itu, sepertinya kita menafikan keberadaan kita sebagai manusia. Karena, dari ibu itulah kita tidak mengenal pembeda antara laki-laki dan perempuan. Ibu menyayangi tanp beda takar. Ibu mengalirkan dirinya yang suci ke dalam aliran-aliran darah kita. Dan kita merasakan kelembutan cinta itu sebagai bagian penting dari muasal kehidupan.
Kalaulah kita jujur pada diri sendiri, maka tak akan ada pertanyaan tentang sosok ibu yang tetap saja menjadi api dalam diri kita untuk memberi arti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun berinteraksi sesama manusia. Kita menempatkan porsi cinta dan penghormatan pada ibu. Sebab, tentulah kita tidak bisa hidup tanpa kasih sayang, tanpa pendidikan, tanpa kelmbutan dari cinta ibu.
Bila ternyata ada yang tidak mampu menempatkan ibu sebagai sosok pemberi kelembutan kasih dari segalanya, maka bisa dipastikan bahwa kehadiran ibu, kehadiran permpuan, hanya ada pada tataran makna simbolik saja. Padahal, makna konsepsional dan makna filosofis yang kita butuhkan, bukan sekadar makna biologis yang feminin itu saja. Kita membutuhkan sosol itu yang sejtinya menjadi pelindung, pemberi arah, pengajar, penyayang, dan segala yang baik yang telah membumikan dirinya sebagai perempuan yang mampu menempatkan diri pada makna filosofis.
Perempuan adalah ibu. Ia mampu menempatkan posisinya secara proporsional. Ia mampu menjadi pelindung. Ia mampu menjadi penyemangat, pengarah, pembimbing. Ibu bukanlah sosok yang memberi makna pada sisi kehidupan yang tidak pernah kita ingin bayangkan. Kita tidak berharap, sosok itu menacapkan taring ke daging anak-anaknya. Ibu mestinya tak pernah bergeser sebagai pemberi kelembutan cinta.
Secara makna simbolik, kaum perempuan atau sosok ibu itu tidaklah sekonyong-konyong menjadi sosok yang lemah atau dengan kata yang agak vulgar yakni bahwa hanya kaum lelaki yang keras, dan bahkan bisa menjajah. Sama sekali tidak! Karena karakter yang ada pada kaum lelaki, ada pula pada wanita.
Misalnya, bukankah kita banyak mendengar bagaimana Margareth Teatcher yang ketika menjadi PM Inggris yang dikenal sebagai Iron Woman, atau siapa yang tidak kenal keberanian Cut Nyak Dhien sebagai tokoh wanita yang memimpin perlawanan di Aceh melawan Belanda?
Yang membedakan perempua dan laki-laki adalah biologisnya saja! Dan pada dasarnya memiliki kemampuan yang sama dalam semua dimensi kehidupan. Hal yang diperjuangkan Ibu Kartini. Namun, bagi seniman seperti Ismail Marzuki dalam tembangnya “Sabda Alam”, melihat persoalan gender itu di masanya masih dala koridor biologis sesuai proporsinya.
“wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu. Namun ada kala pria tak berdaya, tekuk lutut di balik kerling wanita...”. Penggalan lagu tersebut menjelasakan bahwa baru kerlingan perempuan, pria sudah menyerah apalagi kalau betul-betul segala kemampuan biologis yang dia miliki dikerahkan, maka dia akan mampu berbuat maksimal setara laki-laki.
Kini, sudah tidak pada tempatnya di saat teknologi dan ilmu pengetahuan telah berkembang, peluang perempuan tidak mendapatkan tempat di semua ruang yang ada. Hanya saja, jiwanya sebagai ibu mestinya tetap saja mendominasi cara berpikir dan bertindaknya. Sebab, sekeras baja bagaimana pun, ia tetap perempuan yang memiliki kelembutan cinta seorang ibu.
Dan kita selau berharap, perempuan adalah ibu yang memberi kehangatan cinta itu sebagai keikhlasan, bukan sekadar perlombaan demi emansipasi. Dari tangannyalah, dari hatinyalah, dari pikirannyalah, akan mengalir energi anak bangsa yang mengenal dirinya, mengenal tanggung jawabnya kepada keluarga, bangsa, dan agamanya.

Tidak ada komentar:

Followers

Powered By Blogger

Statistik Pengunjung